Kamis, 20 November 2008

PRINCIPALSHIP

Reflection over Guest Seminar 15 Nov 2008

Canisius College and Sekolah Ciputra seem to have different perspectives and practices in merit-pay system. The first institution rewards the teachers and staff equally while the latter uses meritocracy. Write your views regarding this issue.

Kamis, 06 November 2008

CHILD EDUCATION
Nov 7, 2008

Syeh Puji, a 45-year old billionaire in Central Java married a 12-year old girl. What do you think of this issue? Explore your arguments from Child Psychology perspectives.

Sabtu, 01 November 2008

CHILD EDUCATION

We will not have a class meeting on campus on Nov 7. Instead, we will meet in my blog on that day. I will post some questions and expect you to respond to them.

PRINCIPALSHIP

Reminder:
We will not have a class meeting on Nov 7, 2008. The session will be substituted on Saturday, Nov 15, 2008.

Reflection of Oct 31, 2008 session

Bpk Abdullah Sani's guest lecture on SCHOOL CULTURE

Mention 3 main things you learned from pak Sani's sharing.

Sabtu, 25 Oktober 2008

PEDAGOGY

Oct 31 Assignment
Review of LASKAR PELANGI

What is the underlying philosophy of education as practiced by the principal and ibu Muslimah at SD Muhammadyah in LASKAR PELANGI? Defend your answer with arguments and illustrations from the story.

Nov 7 Task
Watch MONALISA SMILE at SAC and do the worksheet. Submit your work on Nov 14.

PRINCIPALSHIP

Reflection over Oct 24, 2008 session

What can a newly appointed principal do to change a toxic culture where teachers and staff discourage one another to achieve their best?

Sabtu, 18 Oktober 2008

PRINCIPALSHIP

Reflection over Oct 17, 2008 class session

Good leaders change organization.
Great leaders change people.
What does it take to change people?

Minggu, 12 Oktober 2008

PRINCIPALSHIP

Reflection over Oct 1o session:

1. What organization model would work best to initiate school reform in your own context?
2. Qualified women in modern organizations including schools do not receive equal treatment or respect. Do you agree to that concern? Defend your answer.

Anita Lie

Kamis, 18 September 2008

Guru: Perjalanan dan Panggilan

Ketika seorang muda atau orang tuanya meminta saran mengenai bidang studi atau karir apa yang paling baik untuk ditekuni, saya selalu mendorong si orang muda untuk mengingat dan menggali impian masa kecilnya. Hari ini adalah satu titik di tengah-tengah perjalanan saya sendiri dalam menggapai impian masa kecil. Permainan yang paling saya gemari ketika kecil adalah bermain sekolah-sekolahan di mana saya berperan sebagai guru. Selanjutnya, perjalanan karir, profesi dan panggilan saya adalah menjadi guru. Pilihan untuk menjadi guru ini tentu saja merupakan pilihan yang tidak biasa karena dalam keluarga besar kedua orang tua, mungkin saya satu-satunya yang membuat pilihan ini. We are shaped and fashioned by what we love (Goethe). Salah satu bidang ilmu yang tercantum dalam SK pengangkatan saya adalah Teaching Methodology. Berikut ini adalah beberapa konsep yang melandasi dan menjadi raison d’etre bagi metodologi pengajaran.
Menjadi guru--dengan segala inflasi makna dalam berbagai jargon yang terkait mulai dari pahlawan tanpa tanda jasa, digugu lan ditiru, panutan, orang tua kedua, dan sebagainya adalah suatu penjelajahan dan perjalanan emosional, intelektual, dan spiritual. Kita beruntung dalam bahasa Indonesia kata guru tidak diterjemahkan seperti dalam bahasa Inggris menjadi teacher. Guru mengandung makna yang lebih luas dan dalam dibandingkan teacher (seseorang yang mengajar). Dalam bahasa Sansekerta, guru ( गुरू ) lebih dari seorang pengajar. Seorang guru adalah juga seorang ahli, konselor, saga, sahabat, pendamping dan pemimpin spiritual. Kata guru kemudian diadopsi ke dalam bahasa Hindi, Marathi, Bengali, Gujarati, dan banyak bahasa lainnya termasuk bahasa Indonesia. Sebagai kata benda, guru berarti tempat sakral ilmu pengetahuan. Sebagai kata sifat, guru berarti berbobot karena ilmu pengetahuan dan kearifan spiritual. Etimologi esoterik dari istilah guru menggambarkan suatu metafora peralihan dari kegelapan menjadi terang. Suku kata gu (गु) berarti kegelapan dan ru (रू) berarti terang. Jadi guru bermakna seseorang yang membebaskan dari kegelapan karena ketidak-tahuan dan ketidak-sadaran (www.wikipedia.org/wiki/Guru).
Dalam novelnya Laskar Pelangi, Andrea Hirata menulis, ”guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak ’kan putus-putus pahalanya hingga akhir hayatnya. . . . Dan tak hanya itu yang dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita.” Pengalaman Hirata mengingatkan kita pada kerja mulia seorang Anne Sullivan yang berhasil membebaskan Helen Keller dari kegelapan dan keterasingan karena keterbatasan mata dan pendengarannya.

Belenggu dalam Pendidikan
Harapan bagi para guru untuk membebaskan anak-anak bangsa dari kegelapan masih belum tercapai. Kemerosotan mutu pendidikan nasional di Indonesia, seperti ditunjukkan secara kuantitatif dalam berbagai data survei tingkat internasional seperti TIMSS, OECD dan Indeks Pembangunan Manusia maupun secara kualitatif dalam pengamatan beberapa pelaku dan pengamat pendidikan, tidak bisa dilepaskan dari rendahnya mutu guru karena guru mempunyai peran sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan. Ditengarai kekurangan minat di antara orang muda berkualitas untuk menjadi guru disebabkan salah satunya oleh minimnya jaminan kesejahteraan guru seiring dengan revolusi material dalam era globalisasi (Lie, 2004, Priyono, 2005 dan Darmaningtyas, 2005).
Dalam kerangka peningkatan mutu, satu permasalahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional adalah dehumanisasi pendidikan. Seharusnya, pendidikan menghormati dan menghargai martabat manusia beserta dengan segala hak asasinya. Peserta didik seharusnya tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek melalui proses pendidikan. Tapi yang sedang terjadi justru sebaliknya. Ada terlalu banyak contoh dalam praktek-praktek di sekolah yang menunjukkan betapa peserta didik sudah diperlakukan sebagai obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri, dan bisnis. Guru sebagai pendidik tidak mampu mengembangkan kesadaran untuk menghentikan gejala dehumanisasi ini dan membebaskan peserta didik dari kegelapan karena para guru sendiri merasa terjebak sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional (Suparno, 2004 dan Supriadi, 2003). Persoalan di bawah ini hanya sebagian kecil dari realita belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional, kultural, dan spiritual.yang dihadapi guru dan sudah sangat lama disorot masyarakat:
1. Dengan gaji dan tunjangan yang sangat tidak memadai, guru menjadi terlalu sibuk dengan upaya mencari penghasilan tambahan sehingga tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik diabaikan atau tidak dilakukan dengan sepenuh hati.
2. Dengan jam mengajar yang panjang dan tugas administratif yang membebani, guru sudah tidak punya waktu untuk membaca dan mengembangkan diri. Pengetahuan, wawasan dan kreativitas guru sulit berkembang. Akibatnya, peserta didik mau bertahan duduk di hadapan guru di dalam kelas hanya karena mereka harus bertahan sebelum bel berbunyi dan menyelesaikan satu jenjang untuk mendapatkan ijazah.
3. Dengan berbagai kepahitan dan kegetiran hidup sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional, sebagian guru belum mampu mengembangkan mekanisme untuk mengelola emosi negatif mereka sehingga harus mengumpat di kelas, mengasihani diri sendiri atau memperlakukan peserta didik dengan kasar.
4. Seharusnya berperan sebagai aktor dalam proses pembudayaan, transformasi nilai-nilai, dan rekonstruksi masyarakat, sebagian guru malah melakukan pelanggaran etika sebagai pendidik dengan memberikan les privat bagi peserta didik dan bahkan membocorkan soal-soal ulangannya sendiri, ikut menjualkan buku-buku ajar dari penerbit yang memberikan komisi paling memuaskan, atau ikut terlibat sebagai saksi yang menutup mulut atas beberapa tindakan manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah.
5. Akhirnya, belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional, dan kultural membuat guru kehilangan identitas dan integritas. Pekerjaan sebagai guru tidak lagi dilandasi oleh spiritualitas profesi dan tidak menjadi bagian dari perjalanan kemanusiaan.

Tentu saja di berbagai tempat masih ada banyak guru yang cerdas, cemerlang dan berhati nurani. Bahkan dalam berbagai keterbatasan segala sumber daya, masih ada guru-guru yang memaknai setiap tindakan dan ucapannya sebagai bagian dari perjalanan panjang untuk melayani anak-anak manusia dalam sejarah peradaban. Guru-guru seperti ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Efendy Noor dalam kehidupan nyata Andrea Hirata laksana mutiara dan senantiasa bersinar di tengah-tengah gambaran suram para guru seperti di atas.

Tujuan Menjadi Guru
Dalam perjalanan kehidupan, setiap manusia dipanggil bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri melainkan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Sebagian manusia dipanggil untuk mendampingi manusia-manusia muda dalam perjalanan mereka dan membebaskan manusia-manusia muda ini dari ketidak-tahuan dan ketidak-sadaran. Manusia-manusia ini kemudian memilih untuk menjalani profesi sebagai guru.
Dalam perjalanan untuk mencapai tujuan ini, seorang guru mengalami suatu proses penemuan diri sendiri. Find your passion and follow it. Dalam refleksi Parker Palmer (1998), selama proses penemuan diri ini, seorang guru secara terus menerus mengaitkan tiga hal, yakni dirinya sendiri dengan anak didik dan bidang pengetahuan/ketrampilan yang diampunya.
Proses penemuan diri seorang guru dalam perjalanan panggilannya adalah proses penemuan dan pengukuhan identias dan integritas (Palmer, 1993 dan 1998). Dalam beberapa forum yang berbeda, saya pernah menanyakan kepada para peserta siapa guru yang paling berpengaruh dalam kehidupan mereka dan kenapa guru tersebut bisa berpengaruh. Hampir semua peserta secara spontan dan cepat bisa menyebutkan tokoh guru berpengaruh seakan-akan nama guru tersebut sudah terpatri dalam benak mereka. Yang menarik adalah ketika masing-masing menceritakan apa pengaruh dan kenapa guru tersebut telah berpengaruh dalam kehidupannya. Ada keberagaman profil guru idola yang sangat besar dalam hal usia, mata pelajaran yang diampu, tipe kepribadian, gaya mengajar para guru idola, dan bahkan metode dan teknik mengajar. Dengan kata lain, tidak ada satu tipe guru tertentu yang menjadi idola.
Salah satu bidang keahlian yang saya tekuni selama ini adalah pengembangan profesionalisme guru dan penguasaan metode dan teknik mengajar oleh guru. Dahulu saya memberikan pelatihan-pelatihan metode dan teknik mengajar berdasarkan teori, penelitian, dan best practices yang sudah terdokumentasi dengan suatu keyakinan bahwa beberapa metode dan teknik mengajar tertentu merupakan kunci keberhasilan suatu proses pembelajaran.. Semakin lama saya berinteraksi dengan para guru dan menjalani sendiri profesi saya, semakin saya menyadari bahwa masing-masing guru seharusnya menggali dirinya sendiri, menemukan identitasnya sendiri, dan mengembangkan gaya serta metode dan teknik mengajar yang paling sesuai dengan dirinya sendiri untuk menyinarkan aura terbaiknya yang bisa menerangi para peserta didiknya dan membekali dirinya untuk menyampaikan bidang pengetahuan/ketrampilan yang diampunya. Penemuan dan kesadaran diri ini kemudian akan menjadi modal bagi guru untuk mempertahankan integritasnya dan menjadi dirinya sendiri secara utuh sesuai dengan harkat kemanusiaannya.
Dua hal berikutnya yang terkait dalam perjalanan seorang guru adalah anak didik dan mata pelajaran yang diampu. Jika seorang guru diminta untuk melengkapi kalimat Anda mengajar ………………., jawaban langsung (tanpa refleksi) kebanyakan guru sekolah menengah dan perguruan tinggi adalah mengisi titik-titik dengan bidang studi yang diajar sedangkan guru sekolah dasar akan menjawab Saya mengajar kelas 2. Tidak terpikirkan bagi guru untuk menjawab Saya mengajar 48 anak. Jika ditanya lebih lanjut, Apakah Anda mengajar anak atau mengajar IPS/IPA/bahasa/matematika/kesenian?, barulah jawaban selanjutnya adalah Saya mengajar kedua-duanya. Jawaban ini tampak sederhana dan memang benar. Namun refleksi lebih dalam terhadap praksis pengajaran menunjukkan bahwa mengajar kedua-duanya tidak selalu (bisa) dilakukan. Dalam tingkat kebijakan dan praksis pendidikan formal, bahkan ada konsensus bahwa semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin besar kecenderungan mengajar bidang disiplin daripada peserta didik. Guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar dianggap lebih generalis dan lebih memahami psikologi anak dibanding guru-guru sekolah menengah dan perguruan tinggi yang lebih spesialis. Dalam praksis pendidikan formal, seringkali guru pada jenjang yang lebih tinggi mendapatkan penghargaan (baik materi maupun prestise) yang lebih tinggi daripada guru TK dan SD. Banyak pengelola sekolah memberi gaji yang lebih besar kepada guru SMP dan SMA daripada kepada guru TK dan SD. Atau kualifikasi yang disyaratkan untuk guru SMP dan SMA dibuat lebih tinggi daripada untuk guru TK dan SD. Sikap ini dilandasi suatu asumsi bahwa apa yang diajarkan jauh lebih penting daripada siapa yang diajar.
Pemilihan mata pelajaran yang diampu (bisa dilakukan sebelum atau dalam masa jabatan) seharusnya dilakukan dalam kesadaran dan keterkaitan dengan identitas dan integritas setiap guru. Dalam menjalankan profesinya, ada proses penyatuan diri dengan bidang yang diampu. The messenger is the message. Salah satu indikator proses penyatuan diri dengan bidang ini adalah kecintaan terhadap apa yang diajarkan (termasuk berbagai kaidah dalam disiplin ilmunya) dan keyakinan bahwa apa yang diajarkan akan membawa suatu perubahan dan kebaikan dalam kehidupan peserta didik sebagaimana pengetahuan, ketrampilan dan nilai yang terkandung dalam bidang yang diampu itu sudah membawa kebaikan bagi kehidupan sang guru sendiri.
Selanjutnya, untuk mengajar kedua-duanya (mata pelajaran dan peserta didik), seorang guru tidak berhenti hanya pada peran sebagai the messenger who delivers the message. Identitas dan integritas seorang guru memungkinkannya untuk menyapa setiap pribadi peserta didik, menyentuh hatinya, dan membebaskannya untuk menemukan guru dari dalam dirinya sendiri. Parker Palmer menyebut the teacher within. Implikasi dari pemahaman ini adalah seorang guru sejati dipanggil untuk membebaskan peserta didiknya bukan hanya dari ketidak-tahuan melainkan juga membebaskan peserta didiknya dari ketergantungan kepada sang guru. Seorang guru dipanggil untuk membebaskan peserta didik dari ketidak-sadaran bahwa sebenarnya si peserta didik mempunyai gurunya sendiri, yakni yang ada di dalam dirinya sendiri, yang akan terus membimbing dan memimpinnya sepanjang hayat.

Anatomi dan Budaya Ketakutan
Perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dan perlu karena melalui perubahan, kehidupan tumbuh dan berkembang. Peran pendidikan dalam pembudayaan umat manusia adalah pembebasan peserta didik untuk melakukan perubahan dan pembaruan demi kehidupan. Perubahan masyarakat seharusnya dimulai di sekolah-sekolah karena di tempat inilah pemilik masa depan sedang dipersiapkan. Namun ironisnya, di sekolah peserta didik tidak banyak diberi kesempatan untuk merekonstruksi masa depan dan bahkan diajar nilai-nilai kepatuhan serta belajar menyesuaikan diri dengan sistem, tatanan, norma, aturan, dan nilai yang sudah berlaku di masyarakat. Guru sudah diposisikan sebagai perangkat dalam suatu sistem yang tidak cukup memberikan penghargaan bagi upaya-upaya pembaruan dan pembebasan namun justru sangat menghargai tindakan-tindakan pengukuhan aturan dan sistem.
Pemosisian ini secara sistematis telah menciptakan dan memelihara budaya ketakutan di kalangan para guru. Dunia pendidikan telah dibelenggu dan beroperasi dalam budaya ketakutan. Ketakutan guru terjadi secara multidimensional. Ketakutan terhadap sistem dengan segala perangkatnya termasuk evaluasi terhadap peserta didik berupa ujian yang diselenggarakan oleh lembaga yang berkuasa, pengakuan atas profesionalitasnya berupa program sertifikasi, penilaian kinerja yang buruk dari kepala sekolah, jaminan atas kesejahteraan dan keberlanjutan karirnya telah menghambat guru untuk menjadi dirinya sendiri secara utuh. Lebih jauh lagi, keterbelengguan dalam sistem dan ketakutan terhadap kemiskinan juga membatasi guru untuk terus menggali, menjelajahi, dan menemukan nilai-nilai kebenaran dalam bidang ilmu yang diam. Secara lebih mendalam, ketakutan terhadap peserta didik dan dirinya sendiri telah membentengi guru dari panggilan untuk menyapa peserta didik dan membebaskan mereka untuk menemukan diri sendiri. Bahkan, banyak guru memanfaatkan dan menggunakan ketakutan dalam diri peserta didik untuk mengendalikan proses belajar mengajar. Peserta didik takut terhadap ulangan dan ujian, takut terhadap hukuman, takut menjadi bahan cemooh teman-teman sekelas, dan takut tidak naik kelas. Ketakutan peserta didik inilah yang dijadikan sumber enerji penegakan kekuasaan guru di kelas. Ketakutan peserta didik selanjutnya bergabung dengan ketakutan dari dalam guru sendiri untuk membuka hatinya sendiri dan menyapa hati peserta didiknya. Ketakutan para guru terhadap peserta didik telah mengenakan topeng apatisme terhadap perubahan dan sinisme terhadap kondisi peserta didik (mutu input yang terus merosot dari tahun ke tahun, motivasi belajar yang rendah, latar belakang keluarga yang tidak mendukung, dsb). Ketakutan-ketakutan ini telah memisahkan guru dari peserta didik.
Ketakutan-ketakutan adalah manusiawi dan jarak antara guru dan peserta didik akan selalu ada. Namun, betapapun lebar jarak tersebut, guru seharusnya berkomitmen untuk membangun jembatan dengan peserta didik bukan hanya karena peserta didik membutuhkan guru untuk membimbingnya dalam perjalanan menjadi manusia dewasa tapi juga karena guru membutuhkan pandangan dan enerji dari peserta didik untuk terus memperbaharui kehidupannya sendiri.
Beberapa tahun setelah saya mengawali perjalanan saya sebagai guru, saya menutupi berbagai ketakutan saya dengan menekuni perangkat pengajaran berupa metodologi dan teknik mengajar. Maka sayapun mencoba dan bermain-main dengan cooperative learning, multiple intelligences, learning styles, dan sebagainya. Penguasaan perangkat-perangkat ini saya harapkan bisa menjadi senjata dan tameng agar kelihatan trampil dan kompeten di depan para peserta didik dan sesama rekan guru. Perangkat-perangkat ini juga saya bagikan kepada sesama rekan guru di acara-acara pelatihan. Namun, semakin lama saya masuk dalam perjalanan saya sebagai guru, semakin saya melihat bahwa betapapun pentingnya metode dan teknik mengajar, perangkat adalah tetap perangkat. Guru seharusnya menggunakan perangkatnya bukan untuk menutupi ketakutannya sendiri melainkan sebagai jembatan untuk menyapa dan membuka hati setiap peserta didiknya. Komitmen guru untuk menggapai hati peserta didik merupakan bagian dari rekonstruksi fabrikasi sosial, seperti kata Parker Palmer (1998):

“One of the blessings of teaching is the chance it gives us for continuing encounters with the young, but whatever eventually blesses us may at first feel like a curse! We are more likely to survive the curse and arrive at the blessings if we understand that we may be as afraid of our students as they are of us—and then learn to decode our own fears, as well as theirs, for the sake of creativity in the service of the young.”

Pengalaman menguraikan ketakutan merupakan bagian dari perjalanan spiritual seorang guru. Ketakutan adalah patologis dan fundamental dalam kemanusiaan sehingga banyak tradisi spiritual berupaya mengatasi dampak ketakutan dalam kehidupan. Dengan kata-kata dan konteks yang berbeda, seruan “Jangan takut!” ada dalam berbagai agama. Ajaran dari berbagai agama mengajak kita untuk mengatasi ketakutan dengan satu harapan: kita bisa terlepas dari kehancuran karena ketakutan dan mendapatkan berkat ketika perjumpaan dengan manusia lain tidak mengancam kita melainkan memperkaya pekerjaan dan kehidupan kita.

Upaya Mengangkat Derajat Guru
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menafikan hak atas kesejahteraan bagi para guru atas nama panggilan hati. Di tengah-tengah keprihatinan terhadap kemerosotan mutu dan status guru, Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Undang Undang No. 14 tahun 2005 Guru dan Dosen diluncurkan dengan suatu itikad baik di antaranya untuk mengatur profesionalisme guru dan memberikan jaminan terhadap perlindungan dan kesejahteraan guru. Sementara, persoalan konseptual pendidikan profesional guru masih belum terselesaikan, program sertifikasi melalui portofolio sudah langsung dijalankan. Sungguh sangat absurd tindakan menggunakan berkas-berkas yang dikumpulkan dalam portofolio untuk menilai kompetensi seorang guru. Dan ketika guru-guru yang beruntung mendapatkan jatah sedang berlomba-lomba mengumpulkan portofolio untuk memperoleh sertifikasi demi perolehan tunjangan profesi dan fungsional, berbagai ekses (keikut-sertaan dalam program pendidikan dan pelatihan hanya demi sertifikat, manipulasi berkas, dan kolusi antara pemilik portofolio dan penilai) sangat menodai profesi guru dan bahkan melemparkan guru pada titik nadir dalam perjalanan profesinya.
Program sertifikasi guru yang juga merupakan produk PP No. 19/2005 dan UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen juga telah banyak disorot. Raka Joni (2007) menunjukkan adanya “cacat ontologik” dalam konsep kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang diturunkan dari Empat Pilar Belajar UNESCO. Menilai seorang guru dalam 4 kategori sama dengan ”memposisikan keempat kompetensi ortogonal satu sama lain.” Sebagai ilustrasi, kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan, dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik yang terangkum dalam kompetensi pedagogik akan lepas konteks jika tidak dikaitkan dengan kemampuan penguasaan materi pembelajaran. Demikian juga dengan dua kompetensi yang lain.
Merujuk kepada refleksi Parker Palmer (1998) bahwa seorang guru secara terus menerus mengaitkan tiga hal, yakni dirinya sendiri dengan anak didik dan bidang pengetahuan/ketrampilan yang diampunya, berbagai kemampuan yang diharapkan dimiliki dan/atau dikembangkan seorang guru seyogyanya menjadi bagian tak terpisahkan dari sosok utuh kompetensi profesional seorang pendidik Berikut ini peta penemuan dan pengembangan seorang pendidik:


Ketika seorang guru dipanggil untuk membebaskan peserta didiknya bukan hanya dari ketidak-tahuan melainkan juga membebaskan peserta didiknya dari ketergantungan kepada sang guru, dia perlu berangkat dari suatu motivasi dan dedikasi yang dilandasi falsafah dan nilai pendidikan untuk mengabdikan dan mengembangkan dirinya. Dalam perjalanannya, seorang guru memilih bidang studi dengan suatu kecintaan dan keyakinan bahwa apa yang diajarkan akan membawa suatu perubahan dan kebaikan dalam kehidupan peserta didik sebagaimana pengetahuan, ketrampilan dan nilai yang terkandung dalam bidang yang diampu itu sudah membawa kebaikan bagi kehidupan sang guru sendiri. Proses penyatuan diri dengan bidang studi ini mencakup kemampuan penguasaan dan pengembangan materi serta perancangan pembelajaran dan evaluasi hasil belajar. Selanjutnya, perjumpaan guru dengan peserta didik terjadi sebagai interaksi antar manusia sedangkan perjalanan seorang guru untuk membebaskan peserta didiknya secara profesional didukung oleh pemahaman guru terhadap peserta didik, proses belajar serta dampak perbedaan individual dan latar belakang ekonomi sosial budaya terhadap proses belajar.


Dikotomi pekerjaan dan panggilan
Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memposisikan guru sebagai pekerja yang harus mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak personal dan profesionalnya. Memang selama ini, guru seringkali diperlakukan secara semena-mena oleh pemerintah maupun sebagian pengelola sekolah swasta. Sebagai pekerja, guru berhak mendapatkan kebebasan akademis dan berserikat, rasa aman dan jaminan keselamatan, cuti, tunjangan kesehatan, dan gaji yang layak seperti diatur dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 14 s/d 19. Guru juga berhak mendapatkan prosedur pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian yang layak (Pasal 24 s/d 31) serta Pembinaan dan Pengembangan (Pasal 32 s/d 34).
Namun pada sisi yang lain, guru bukan buruh. Menjadi guru (sejati) merupakan panggilan hati. Bagi seorang guru sejati, tugas utamanya adalah membantu anak didik berkembang menjadi manusia yang lebih utuh (Driyarkara, 1980). Apapun situasinya, guru pertama-tama tidak berpikir untuk dirinya sendiri melainkan untuk anak didiknya. Dia dipanggil untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Bagi seorang guru yang digerakkan oleh panggilan hati, layanan konseling bagi anak didik yang sedang depresi dan mau bunuh diri di hari libur resmi pemerintah akan tetap dilakukan walaupun dia tahu sekolah tidak membayarnya uang lembur. Betapapun pergumulan untuk memperjuangkan tingkat kesejahteraan yang layak bagi guru sebagai pekerja, yang membedakan guru yang sejati dengan yang tidak adalah bagaimana mereka masing-masing memaknai profesi keguruannya. Yang satu menjalaninya sebagai suatu panggilan hidup sedangkan yang lainnya melakukan pekerjaan untuk mencari nafkah. Di antara kedua model ini tentunya ada gradasi dan dinamika pertumbuhan atau kemerosotan.
Bagi seorang guru sejati, pekerjaan menulis silabus dan rencana pembelajaran, menyiapkan media pengajaran, menyampaikan materi kepada siswa, memberi tes, mengoreksi tes siswa, menilai siswa, melakukan tindakan pendisiplinan siswa, memberi konseling kepada siswa, berpartisipasi dalam rapat atau pelatihan guru, dan menulis laporan kepada kepala sekolah merupakan bagian dari suatu perjalanan mencapai suatu tujuan, yaitu membebaskan peserta didik dari kegelapan dan mengarahkan peserta didik untuk menemukan guru sejati yang berada dalam dirinya sendiri.

Hadirin yang terhormat,
Setiap pencapaian mustahil merupakan hasil jerih payah individu melainkan merupakan suatu bagian dari Penyelenggaraan Ilahi yang melibatkan banyak manusia lain. Dalam perjalanan ini, Tuhan sudah memberkati saya dengan sesama peziarah yang sudah ikut mengisi dan memperkaya kehidupan saya. Puji syukur saya panjatkan untuk Chitra dan Kelvin, orang tua dan guru pertama yang sudah memberi tanpa batas dan mengajarkan kehidupan kepada saya. Karunia Tuhan juga saya rasakan dengan kehadiran Haryanto Amanta, suami dan pahlawan dalam kehidupan saya. Cinta kasihnya memberi saya kekuatan, dukungan dan pengertian untuk mengejar impian saya dan menemukan diri saya sendiri. Putri kami terkasih, Felippa Amanta adalah guru saya yang utama dan yang senantiasa menginspirasi saya untuk mempertemukan teori-teori yang saya pelajari dengan kehidupan itu sendiri dan menguraikan ketakutan-ketakutan saya sebagai manusia dan sebagai guru. Ketiga saudara saya beserta keluarga mereka serta mertua dan para saudara ipar sudah memberikan kasih sayang dan dukungan yang sangat berarti.
Semua guru saya di Sekolah Dasar Negeri 112 di Sidodadi, SMPK Santa Agnes beserta dengan para Suster SSpS, SMAK Frateran Surabaya beserta dengan para Frater Bunda Hati Kudus, Fakultas Sastra UK Petra, dan Baylor University sudah ikut mengisi kehidupan saya dengan kapasitas dan gaya masing-masing. Terima kasih saya untuk Prof. Ann Karaffa, Ph.D. dan Prof. Betty Jo Monk, Ph.D. yang sudah memungkinkan saya mendapatkan beasiswa untuk program S3 di Baylor University walaupun pada saat itu sedang ada pemotongan anggaran besar-besaran di universitas serta untuk Prof. Dr. Esther Kuntjara sebagai Dekan Fakultas Sastra UK Petra pada waktu itu yang sudah memperjuangkan ijin bagi saya melanjutkan ke program S3.
Terima kasih untuk Ibu Ninuk Setyorini atas persahabatan, ketulusan, dan kejujuran. Kepada rekan-rekan seperjalanan dalam profesi, Prof. Dr. Budi Darma, Ibu Josefa Mardijono, Ibu Monica Santoso, Ibu Julia Eka Rini, Ibu Sarah Prasasti, Ibu Liliek Yuwono, Bapak Dwi Setiawan, dan semua dosen di Fakultas Sastra UK Petra, terima kasih atas persahabatan dan dukungan. Terima kasih kepada Alm. Prof. Dr. Lukas Musianto, Prof. Dr. Benjamin Lumantarna, Dr. Takim Andriono, Ibu Mina Sulastri, Bpk. Guana Tanjung, dan Bpk. Wang Sutrisno yang sudah menunjukkan bahwa perjalanan menjadi guru dimulai dari perjalanan menemukan diri sendiri dan menjadi jujur pada diri sendiri.
Apresiasi saya untuk Ketua KOPERTIS Wilayah VII, Prof. Dr. M. Nadjaji beserta jajarannya yang sudah melakukan tanggung jawab dengan sangat professional dan memroses berkas-berkas saya dengan cepat dan tepat.
Terima kasih kepada Ketua Badan Pembina Mgr. Vincentius Sutikno, Ketua Badan Pengurus Prof. Hengky Supit beserta seluruh staf, Rektor Universitas Katolik Widya Mandala Prof. Dr. J.S. Ami Soewandi, Wakil Rektor I Dr. Kuncoro Foe, Wakil Rektor II Ibu Anteng beserta seluruh staf atas segala dukungan dan kepercayaan. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Ibu Agnes Santi Widiati tanpa lelah menanyakan proses pengurusan guru besar dan terus berharap ketika saya sendiri sudah tidak lagi peduli. Prof. Dr. Wuri Soedjatmiko telah memberi inspirasi bahwa belajar sambil tampil cantik menarik tidak kenal batas usia.
Terima kasih kepada semua dosen dan staf administrasi di FKIP Unika Widya Mandala atas kepercayaan dan penerimaan terhadap saya. Terima kasih kepada Bpk Hadi yang dengan tekun dan telaten telah menyusun dan merapikan berkas-berkas saya. Terima kasih pula kepada Ibu Lucia Harvianti dan Ibu Sio Man yang juga telah membantu saya merapikan berkas-berkas sebelum diserahkan kepada Bpk. Hadi. Terima kasih kepada Bapak Herwin beserta seluruh panitia yang sudah bekerja keras untuk penyelenggaraan acara ini.
Para mitra dan kawan di EduBusiness Consulting dan Sentra Foreign Languages merupakan berkat Tuhan bagi saya. Terima kasih atas persaudaraan dan kebersamaan kita selama ini.
Perjalanan saya sebagai guru telah diperkaya dengan diskusi dan pekerjaan bersama-sama rekan-rekan di Komunitas Indonesia untuk Demokrasi yang berasal dari beragam disiplin ilmu dan latar belakang. Dr. Ignas Kleden, sosiolog, kritikus sastra, dan gembala memberikan contoh kesinambungan antara otak, mulut, dan hati. Ibu Ratih Hardjono mengajarkan keterlibatan hati dalam pekerjaan demokrasi untuk bangsa. Bpk. Kresnayana Yahya memberi saya banyak wawasan dan pengetahuan dari berbagai bidang serta model pengabdian tanpa kenal lelah. Terima kasih pula kepada rekan-rekan lain di Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto, Prof. Mohtar Mas’oed, Bpk. Rustam Effendi, Dr. Daniel Sparringa, Prof. Dr. Qasim Mattar, Ibu Ruhaini Dzulhaitin, dan teman-teman Executive Officers di KID.
Dr. Ibrahim Hasan, Ibu Ratih Loekito, dan Bpk Dharmanadi Chandra dari Tanoto Foundation telah memberikan kesempatan sangat berharga bagi saya untuk berjumpa langsung dengan para guru di sekolah mereka masing-masing bahkan sampai di pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Nangroe Aceh Darussalam sekalipun. Perjumpaan hati dengan para guru terutama yang terus bertahan dan berjuang di pedalaman telah menguatkan saya dalam peziarahan dan perjalanan spiritual saya sendiri sebagai seorang guru. Terima kasih pula kepada Ibu Dian, Mbak Donna Tampubolon, Mathilda Chandra, Bung Asri dan Mbak Fika yang sudah banyak membantu penyelenggaraan perjumpaan dengan para guru.
Atas kepercayaan yang sudah diberikan oleh LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro) dan SLD serta CCB PT Freeport Indonesia, saya haturkan terima kasih. Karena kepercayaan ini, saya memperoleh kesempatan untuk mengenal dari dekat kondisi pendidikan di Papua. Saya sangat bersyukur Tuhan telah mengatur perjumpaan dengan Bapa Uskup Timika Mgr. John Saklil, Bpk. John Nakiaya, Bpk Emanuel Kemong, Bpk Yohan Zonggonau, Bpk. Lody Saklil, Bpk. Arief Latief, Ibu Diana Wilson, Ibu Rosalina Okeseray, Bpk Cornelles Yom, dan Bpk. Verry Robot.
Saya panjatkan doa untuk pendampingan dan kekuatan dari Tuhan bagi Bpk Frank Reuneker dan Ibu Irma Reuneker. Buku-buku yang diberi oleh Ibu Irma Reuneker telah menambah nuansa spiritualitas dalam perjalanan saya.
Terima kasih kepada Bapak Tonny Widiastono dari desk Opini Kompas. Penerbitan artikel-artikel pendidikan di Kompas telah memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan banyak pemerhati dan praktisi pendidikan di tanah air.
Kepada para pastor Serikat Jesuit, Rm. Mardiatmaja, SJ, Rm. Baskoro Poedjinoegroho, SJ., Rm. Markus Wanandi, SJ., Rm. Herry Priyono, SJ, Rm. Zahnweh, SJ, terima kasih sudah membagikan spiritualitas Ignatian yang sudah menjadi oase dalam pengembaraan saya di padang gurun pendidikan.
Terima kasih pula atas doa dan dukungan dari para Romo CM, Romo SVD dan Romo Praja di Keuskupan Surabaya dan Malang serta para Suster Misionaris Claris. Suster-suster Putri Kasih telah mengajarkan kepada saya untuk melihat wajah Tuhan dalam setiap orang miskin yang mereka layani. Kata-kata Sr. Anna, PK, “pelayanan kepada orang miskin telah menyelamatkan kita” menjadi sumber enerji dalam perjalanan saya menyaksikan keterpurukan pendidikan kita.
Terima kasih kepada Mas Nur Hidayat dan teman-teman muda di IPNU (Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama) yang sudah melibatkan saya dalam perjuangan untuk memperjuangkan kemandirian belajar. Idealisme dan semangat muda mereka sudah memberikan enerji bagi perjalangan saya.
Kepada para guru dan mahasiswa yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih sudah menjadi guru saya dan menguatkan saya dalam panggilan sebagai guru.


* Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, 16 Februari 2008.

Minggu, 24 Agustus 2008

Questons for Child Education

1. Why is the title of the movie, "I, Not Stupid"?
2. In what ways do adults in that movie fail to understand children?
3. What lessons have you learned from that movie?

Questions for Pedagogy Class

1. How is the teacher in Dead Poets Society different from most teachers you know?
2. What is the teacher trying to achieve in his class?
3. How have the students transformed themselves in the process of learning?